Sertifikasi Halal Kuliner Nusantara dalam Menumpas Asymetric Information
Sertifikasi Halal Kuliner Nusantara dalam Menumpas Asymetric Information. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekitar 86% penduduk Indonesia adalah muslim. Kata siapa kuliner Indonesia haram? Inilah pertanyaan yang menjadi bahan renungan untuk kita. Potensi kuliner Indonesia yang besar tidak diikuti dengan perhatian pemerintah terhadap masalah promosi yang ada. Saat ini kuliner nusantara sangat sedikit yang disertifikasi halal, mereka mengganggap biaya untuk sertifikasi makanan halal ini cukup tinggi dan membutuhkan waktu yang lama. Secara otomatis mereka menyimpulkan bahwa hukum asal makanan di Indonesia adalah halal. Berbeda dengan kuliner barat yang berkembang pesat di Indonesia dengan model bisnis franchasing, misalnya solaria, texas chicken, KFC, dan lain-lain. Mereka telah bersertifikasi halal, padahal Indonesia memiliki berbagai variasi kuliner yang tidak kalah enak dibanding kuliner luar negeri. Para konsumen muslim pasti manganggap produk yang berlabel halal pasti makanan halal namun bagaimana dengan produk yang tidak berlabel halal, apakah termasuk dengan makanan haram?
Persoalan produk halal pernah menjadi polemik di Indonesia antara lain: (1) tahun 1970 kasus pemotongan hewan dengan mesin di Jakarta, (2) tahun 1980 kasus keabsahan daging kelinci, (3) tahun 1982 kasus keabsahan mengkonsumsi daging kodok, (4) kasus produk tidak halal pada tahun 1988 yang sempat menimbulkan gejolak. Isu lemak babi yang terjadi pada saat itu merupakan hasil penelitian dr. Trisusanto dengan mahasiswa yang hasilnya beberapa produk olahan mengandung lemak babi dan (5) tahun 1993 diadakannya musyawarah MUI tentang alkohol (Siradjuddin, 2013). Kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh para konsumen muslim Indonesia, mereka enggan membeli produk kuliner dalam negeri karena keraguan pada kehalalan makan tersebut, mereka lebih menyukai kuliner dari luar negeri yang terdapat informasi jelas tentang kehalalan makanan tersebut. Dampaknya industri kuliner nusantara akan kalah saing dengan industri kuliner luar negeri yang menjamur di negara Indonesia ini.
Kegagalan pasar terjadi ketika pasar tidak mampu mencapai hasil yang optimal. Dalam literatur sebelumnya, di antara penyebab utama kegagalan pasar terdapat informasi yang asimetris. Hal ini terjadi ketika pihak yang terlibat dalam transaksi memiliki informasi yang tidak sama. Pada saat ini, ada solusi masalah Asymetric Information dalam literatur ekonomi selama dua puluh tahun terakhir di beberapa bidang, seperti pembayaran skema agro-lingkungan, kualitas makanan dan rantai hubungan produk. Literatur mengungkapkan bahwa sektor pertanian pangan merupakan bidang yang sangat terpengaruh informasi yang asimetris (Minarelli, Galioto, Raggi, & Viaggi, 2016). Secara khusus, masalah terkait dalam kuliner nusantara adalah kurangnya informasi tentang kualitas, harga dan dampak kesehatan yang terjadi dalam transaksi jual-beli makanan. Tidak banyak tindakan dalam hal regulasi dan kebijakan yang dilakukan untuk mengontrol masalah ini di Indonesia, namun upaya ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan kondisi untuk mencapai pasar yang lebih efisien dan kompetitif.
Asymetric information kerap terjadi pada konsumen, mereka tidak memahami barang yang dibelinya secara keseluruhan. Informasi tentang produk yang diterima oleh konsumen tidak sepenuhnya seperti informasi yang dimiliki oleh penjual kuliner. Tidak mengherankan asymetric information ini akan menimbulkan tindakan adverse selection (salah pilih) pada konsumen, yaitu ketika konsumen membeli produk mereka tidak mengetahui informasi tentang produk tersebut secara keseluruhan. Konsumen akan mengetahui tentang produk tersebut setelah mereka membeli dan memeriksa sehingga konsumen kerap menemui produk yang ternyata terdapat kecacatan yang tidak diketahui ketika transaksi terjadi. Dalam konteks kuliner nusantara, konsumen membeli makanan yang ternyata tidak diperbolehkan oleh agamanya karena konsumen kekurangan informasi yang diberikan oleh penjual.
Asymetric information juga berdampak pada moral hazard / hidden action pada konsumen. Ketika para pembeli muslim membuat ulah / membuat rencana buruk bagi penjual, seperti tidak mau membayar makanan, menfitnah keadaan makanan yang ternyata perilaku tersebut tidak diketahui oleh para penjual kuliner sehingga hal ini akan dapat merugikan para penjual. Kasus ini, pernah terjadi di salah satu restoran dekat Universitas Indonesia. Pada saat itu, ada mahasiswa yang mencari alasan agar mereka tidak harus membayar ke restoran tersebut untuk makanan dan minuman yang mereka beli, niat ini tidak diketahui oleh pihak restoran, lalu mahasiswa tersebut membuat ulah dengan menuduh manajer restoran menyiapkan makanan yang sudah bekas, sehingga mereka merasa tidak mendapatkan pelayanan yang bagus. Padahal, makanan yang disajikan tidak ada masalah dan pelayanannya cukup bagus hingga akhirnya mereka berhasil membohongi manajer restoran, kemudian mahasiswa tersebut tidak mau membayar. Hal-hal seperti inilah yang dapat berpotensi merugikan restoran.
Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak di bidang produk pengolahan makanan dan minuman atau secara umum disebut sebagai produk pangan. Pangan (makanan dan minuman) yang halal merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal maupun dari luar negeri, terutama di Indonesia guna memungkinkan para produsen lokal dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun luar negeri. Mengingat Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama muslim, maka demi ketentraman dan kenyamanan konsumen pelaku usaha wajib menampilkan label halal yang sah dikeluarkan oleh pemerintah melalui DSN MUI selaku lembaga yang berwenang perihal masalah ini. Labelisasi halal berkaitan dengan jaminan kehalalan yang ditunjukkan dengan adanya sertifikasi halal dari LPPOM MUI. Selain sebagai jaminan pangan yang baik, pemberian jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikasi halal (Kurniasari & Sudardjat, 2013). Namun, sertifikasi halal sejauh ini hanya dapat diperoleh pelaku usaha yang memiliki modal besar. Sementara itu, sebagian besar pelaku usaha kuliner nusantara belum memiliki kesadaran dan memperhatikan pentingnya sertifikasi halal, terutama produsen dengan skala kecil. Padahal kalau kita tinjau dengan seksama, kebanyakan mereka menjual makanan halal dan bergizi hanya saja karena biaya dan waktu saja mereka tidak berkesempatan untuk mengajukan sertifikasi halal.
Pada karya tulis ini, penulis bermaksud menyarankan stakeholders untuk ikut berpartisipasi atas sertifikasi halal pada kuliner nusantara, di samping sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah promosi kuliner nusantara. Hal ini juga memberikan dampak keberkahan bagi para konsumen muslim maupun nonmuslim yang menginginkan informasi tersebut. Maka kondisi ini yang akan mengurangi bentuk dari asymetric information antara konsumen dan produsen kuliner nusantara. Sertifikasi halal ini juga dapat mendorong untuk lebih intensif perlindungan atas hak cipta kuliner nusantara agar tidak diakui oleh negara lain, pasalnya dengan program ini dapat dipastikan perlu adanya pengkajian dan penelitian terhadap kuliner yang mengajukan sertifikasi halal tersebut.
Sertifikasi halal untuk seluruh kuliner nusantara membutuhkan proses yang cukup panjang, mulai dari pengkajian kuliner tersebut sampai penerbitan sertifikasi halal. Berikut merupakan ilustrasi langkah-langkah yang harus ditempuh untuk sertifikasi makanan halal:
Sumber :ilustrasi penulis
Dengan adanya sertifikasi halal pada kuliner nusantara, konsumen mempunyai informasi yang jelas tentang kehalalan produk yang dibelinya. Konsumen muslim akan cenderung membeli makanan yang halal. Penanda informasi halal inilah yang mampu mengurangi asymetric information masyarakat. Tak heran restoran asing mengunakan label halal untuk strategi pemasaran mereka. Berdasarkan penelitian Kurniasari & Sudardjat, (2013) terdapat hubungan positif antara labelisasi halal dengan keputusan pembelian produk makanan impor dalam kemasan, Adanya labelisasi halal berhubungan positif dengan keputusan konsumen muslim untuk membeli dan mengkonsumsi produk makanan dalam kemasan terdapat label halal. Dalam penelitian ini menemukan bahwa responden yang setuju mereka membeli makanan halal karena memiliki labelisasi halal terdapat 62,20% dari total responden. Label halal ini menambah keyakinan mereka tentang informasi kehalalan makanan tersebut, Hal ini menjadi poin pembahasan pengurangan asymetric information itu terjadi. Sementara itu, penelitian lain oleh Setyawan, Marsudi, & Rahmawanto (2009) menyebutkan bahwa perhatian, pemahaman, dan ingatan terhadap makanan halal berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian makanan konsumen.
Dampak dari sertifikasi halal ini dapat meluas tidak hanya dirasakan oleh konsumen saja. Dampak ini juga dapat dirasakan oleh produsen kuliner halal juga, menurut Utami (2003) sertifikasi halal ini akan meningkatkan kualitas kuliner produk olahan pada komoditas pertanian unggulan daerah. Kesadaran para pengusaha produk makanan maupun minuman untuk mencantumkan label halal pada produknya lebih disebabkan pada realitas banyaknya konsumen muslim. Hal ini yang selanjutnya memotivasi banyak pengusaha yang asal mencantumkan label halal tanpa melalui prosedur yang disyaratkan sesuai dengan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. Legalisasi halal yang berupa sertifikasi halal terhadap suatu produk pangan bukan sekadar jaminan terhadap ketentraman konsumen, melainkan juga jaminan bahwa produknya akan cenderung semakin dibeli oleh konsumen.
baca juga : https://asyafina.com/jadikan-sampah-menjadi-berkah-belajar-pengelolaan-sampah-di-depok/
Makanan bersertifikasi halal sebenarnya tidak hanya memberi kebaikan kepada konsumen muslim saja. Keberkahan makanan halal ini juga dapat menarik perhatian konsumen nonmuslim untuk mengonsumsinya. Penelitian Maghfiroh (2014) menunjukkan bahwa secara simultan terdapat pengaruh faktor personal, sosial, informasi, dan sikap terhadap niat membeli makanan kemasan berlabel halal LPPOM-MUI pada mahasiswa nonmuslim UNY. Temuan tersebut mengandung implikasi bahwa untuk mahasiswa nonmuslim membeli makanan kemasan berlabel halal LPPOM-MUI bukanlah sesuatu yang salah karena konsep makanan halal sendiri selain tidak mengandung babi atau hewan yang dilarang dalam Islam, melainkan juga makanan harus bebas dari zat yang membahayakan tubuh, makanan harus bersih sehingga konsep tersebut tidak hanya berlaku pada mahasiswa muslim tetapi juga bisa berlaku untuk mahasiswa nonmuslim. Mahasiswa nonmuslim di UNY secara tidak sadar sehari-hari mengonsumsi produk makanan kemasan berlabel halal LPPOM-MUI, namun pada angket penelitian mereka lebih banyak menjawab tidak setuju. Untuk itu, perlu diberi arahan bahwa sebagian besar makanan kemasan telah berlabel halal LPPOM-MUI.
Intensifikasi sertifikasi halal untuk kuliner di Indonesia harus segera dilaksanakan. Sudah sepantasnya makanan halal di Indonesia harus diberikan sertifikat halal yang terstandar oleh DSN MUI. Beragam fakta dan penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi halal mampu menumpas masalah asymetric information. Sebagai penutup, penulis ingin mengajak stakeholders untuk lebih intensif lagi memberi mensertifikasi halal, tanggung jawab yang besar ini ternyata berdampak mengurangi masalah asymetric information produk yang dijual.
Referensi
Kurniasari, D., & Sudardjat, I. (2013). Analisis Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan Pembelian Produk Makanan Impor dalam Kemasan pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ekonomi Dan Keuangan, 1(4), 49–56.
Maghfiroh. (2014). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Niat Membeli Makanan Kemasan Berlabel Halal Lppom-Mui. Economia, 11, 169–176.
Minarelli, F., Galioto, F., Raggi, M., & Viaggi, D. (2016). Asymmetric information along the food supply chain : a review of the literature. Department of Agricultural Sciences, 1–14.
Setyawan, A., Marsudi, & Rahmawanto, D. (2009). Persepsi Label Halal Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Produk Minuman Berenergi. Jurnal Manajemen Bisnis, 1, 135–143.
Siradjuddin, A. (2013). Regulasi Makanan Halal. Tapis, XIII, 102–2013.
Utami, P. (2003). Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Olahan Komoditas Pertanian Unggulan Daerah. Agritech, XIII, 86–95. Retrieved from http://download.portalgaruda.org/article.php?http://download.portalgaruda.org/article.php?article=325805&val=7666&title=SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK OLAHAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DAERAH
Responses