40 Kaidah Fikih yang Wajib dipahami bagi Generasi Milenials( Part 2 )

40 Kaidah Fikih yang Wajib dipahami bagi Generasi Milenials( Part 2 )-Kaidah fikih selanjutnya adalah kaidah kelima sampai kaidah kesepuluh.
Kajian kaidah sebelumnya dapat diakses dilink berikut ini.
kaidah ini wajib dipahami oleh generasi milenials, karena kaidah-kaidah ini relavan dengan kondisi kaum milenials.
kajian kaidah fikih diterangkan secara lengkap pada mabadi Awaliyah, anda dapat mendownload kitab nya di link berikut ini : DOWNLOAD KITAB
Hikmah adanya kita memahami kaidah fikih adalah dapat menjaga tingkat kerasional kita atau akal kita dalam memahami hukum syariah yang ditetapkan Allah SWT.
Dengan begini juga kita dapat beragama dalam posisi yang simbang. tidak terlalu ekstrim kanan maupun kiri
Kaidah ke enam sampai ke sepuluh ini memuat tentang kaidah yang berhubungan tentang bagaimana seseorang jiwa muslim menentukan keputusan.
Keputusan milenials apabila didasari dengan kaidah ini akan memunculkan keyakinan dan optimisme yang indah.
Karena kaidah ini relavan oleh keadaan generasi milenials yang dihadapi berbagai macam masalah.
Baca juga : https://asyafina.com/40-kaidah-fikih-yang-wajib-dipahami-bagi-generasi-milenials-part-1/
Kaidah ke Enam
adapun kaidah yang cocok bagi generasi milenilas ke enam saat ini adalah sebagai berikut:
اليقين لا يزال بالشك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan(source : kitab mabadi awaliyah arab )
Milenials dituntut untuk mampu tegas dalam menentukan keputusan.
Biasanya dengan kematangan pengalaman yang dimiliki oleh generasi milenials mereka akan cenderung memilih yang menyakinkan hal tersebut. Namun kasusnya jika kita tidak mampu yakin, jangan sampai keraguan kita menghilangkan keyakinan.
Karena hal ini berasal dari godaan setan. Setan sengaja membuat kita ragu akan amalan kita, sehingga amalan kita dapat diragukan oleh kita. pada akibatnya kita akan malas beramal baik.
Contoh kasus kaidah ini di lapangan adalah : Seorang santri bernama Doel Rohman merasa ragu akan amal sholatnya.
di dalam hatinya bertanya : apakah kang rohman baru dua atau sudah tiga rakaat dalam melakukan ibadah shalatnya? sehingga , Doel Rohman harus menetapkan jumlah rakaat yang dilakukan yang dua rakaat karena itulah yang diyakini oleh nya.
Disini rohman dituntut untuk cepat memberikan keputusan yang tepat dalam melaksanakan tindakan tersebut.
Contoh lain yang biasa kita temui adalah seorang penjual warung lamongan, penjual tersebut bernama martono baru saja telah mengambil air wudhu.
Kemudian setelah 1 jam karena dia melayani pembeli cewek timbul keraguan dalam hatinya; “apakah wudhunya batal?karena lupa apakah martono telah menyentuh pembeli cewek atau tidak”.
maka dalam kaidah ini menunjukkan hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan yang
muncul kemudian.
Kejadian seperti ini sering sekali kita rasakan apalagi ketika generasi milenials melakukan banyak pekerjaan hingga hal kecil terlupakan.
Seseorang meyakini telah berhadas dan kemudian ragu apakah sudah bersuci atau belum,
maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah fikih yang memiliki esesensi yang senada dengan kaidah di atas adalah sebagai berikut ini:
ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan adanya keyakinan yang lain. (source : kitab mabadi awaliyah arab)
Kaidah ke Tujuh
Kaidah ke tujuh adalah tentang kaidah ketetapan perkara yang membuat dampak terhadap hukum:
الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula. (source : kitab mabadi awaliyah)
ketika kita ditimpa sebuah masalah yang tak brujung. hingga akhirnya kita menemukan keraguan-keraguan.
Sehingga kita harus melihat keberadaan semula. generasi milenials memiliki karakter tertarik dengan hal-hal yang prestisius hingga kita dapat terlena dengan hal tersebut.
namun kita tidak sadar dengan kondisi semula kita, tentunya kita harus lebih memerhatihan kondisi awal kita dengan seksama
contoh kasus lainnya adalah ketika kita melakukan ibadah puasa.
Seseorang muslim yang makan sahur di penghujung malam dan merasa ragu akan keluarnya fajar, apabila kita tinjau secara fikih maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya keadaan awal tersebut adalah masih tetap kondisi malam (al-aslu
baqa-u al-lail).
kita tahun kondisi malam itu masih diperbolehkan untuk sahur. Diranah ini kita bisa lebih menyadari resiko kecil namun juka kondisinya dibawah ini.
sebaliknya jika Seseorang muslimah yang makan untuk berbuka puasa pada waktu penghujung siang tanpa didasari oleh ijtihad terlebih dahulu dan kemudian muncullah sebuah keraguan apakah matahari telah terbenam atau belum, maka puasa muslimah tersebut menjadi batal.
Karena menurut kaidah fikih asal dari kasus ini adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr). kita tahu kondisi siang tidak diperbolehkan untuk makan.
biasanya generasi milenial termakan dengan adanya kondisi gambaran dari kulit luar saja. tidak meninjau secara mendalam.
kaitannya kaidah fikih ini kita diajari ketika menghadapi sebuah permasalahan kita jangan melihat hal kecil atau luar saja.
coba dilihat dengan sisi yang berbeda. sehingga kita akan menghasilkan pandangan berbeda. sehingga kita dapat lebih mantab dalam menjalankan ibadah kita.
Kaidah ke Delapan
kaidah ke delapan cukup singkat bagi para generasi milenials yaitu :
الاصل براة الذمة
hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.
(source : kitab mabadi awaliyah)
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia
tidak melakukan perbuatan tersebut. dengan sumpah ini bersifkat kuat dan lugas, Maka hukuman tidak akan mengenai dia, karena segala beban dan tanggung jawab tidak dikenakan olehnya.
Permasalahan kemudian
dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i). hal ini mengakibatkan muncul sebuah pandangan milenials.
bahwa islam tidak menyukai umatnya dengan mudah mendapatkan hukuman yang diumumkan secara bebas. perlu adanya sebuah syarta tanggungan dan beban yang harus diterima oleh pelaku.
Kaidah ke Sembilan
Kaidah yang ke sembilan adalah sebagai berikut ini:
الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
(source : kitab mabadi awaliyah)
maksud kaidah ini adalah ketika kita tidak memahami sebuah tindakan hukum maka kita dapat berpandangan bahwa hukum asal tersebut adalah sebuah ketiadaaan.
sebuah ketiadaan disini masih menyimpan sebuah resiko yang masih perlu diperdebatkan. karena adanya sebuah akad memberikan dampak akan kuatnya sebuah hukum syariah itu ditindakkan.
Contoh kaidah pada kehidupan sehari hari adalah sebagai berikut :
mbak ipeh mengadakan bisnis perusahaan pemula (star up) kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos Dila.
karena mbak ipeh generasi meilanials maka Dalam
kerjasama ini mbak ipeh berani mengam mengambil resiko untuk bertindak sebagai pengelola usaha (al-‘amil), sedangkan Bos Dila adalah pemodal atau investornya.
perusahaan ini berdiri ketika masa pademi. karena pandemi terus berjalan seiring berjalannya bisnisnya Pada saat akhir perjanjian, mbak ipeh melaporkan kepada Bos Dila bahwa usahanya tidak mendapat untung(rugi) Hal ini diingkari Bos Dila karena tidak percaya akan laporan tersebut.
Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan pengelola dana yaitu mbak ipeh, karena pada dasarnya memang tidak adanya tambahan (laba).
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada
dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
Kaidah ke sepuluh
kaidah yang kesepuluh adalah sebagai berikut:
الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.
(source : kitab mabadi awaliyah)
pandangan kaidah fikih ini memberikaan pengertian bahwa memutuskan sebuah hukum tidak boleh asal dan tidakrelavan. hal ini dapat memberikan kecacatan terhadap hukum itu sendiri.
Contoh kaidah dalam kehidupan sehari hari adalah sebagai berikut ini : Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet, maka tanpa fikir panjang wulan -cah bidan Wonosobo- memukul perut si wanita hamil tersebut.
Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat.
Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati.
Dalam kasus ini, bidan wulan tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan bian wulan terhadap wanita tersebut.
Seorang santri sedang belajar fikih bernama egy hidayatullah ditanya oleh teman sekamarnya; “Kang egy, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat kapan aku mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”.
Dengan PD-nya, karena baru saja menemukan kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi” saat muthala’ah atau mempelajari Kitab. Mabadi’ Awwaliyah,
santri yang suka sekali dengan lagu-lagu Hindia ini spontan menjawab;
“Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan mengulang shalat mulai sejak terakhir kamu
bangun tidur sampai sekarang.”
Penutup
Demikian pembahasan tentang kaidah fikih yang harus dipahami oleh generasi milenials. supaya menjadi pegangan dalam melihat fenomena sosial dan hukum Islam
Kamu juga bisa terus pantau blog asyafinauntuk bisa mendapatkan update seputar pesantren dan ilmu agama.
Responses