Pesan Bagi Para Pengajar
Pesan Bagi Para Pengajar
Sumber Facebook : Gus. A. Hadidul Fahmi
Mungkin saja kekeliruan pengajar adalah mereka ingin para murid cepat memahami ilmu seperti dirinya, dan menakar pemahaman murid sudah seperti pemahamannya sekarang.
Begitu yang sering kali diucapkan oleh guru saya, KH. Zuhrul Anam. Target khusus ini berlaku juga pada orang tua yang mengajar langsung anak anaknya, bahwa mereka ingin anak anaknya cepat bisa menguasai ilmu seperti dirinya.
Padahal di usia tersebut, bisa jadi si anak sudah melebihi capaian sang guru saat ia di usia yang sama.
Pemikiran ini mengingatkan dawuh (kalau tidak salah) KH. Maimoen Zubair, bahwa kewajiban guru adalah mengajar. Tidak perlu muluk muluk mentargetkan diri membuat anak didiknya pintar.
Karena memang memahami ilmu adalah ‘anugerah’ yang bisa didapat dengan belajar atau tanpa belajar. Belajar adalah salah bentuk ikhtiyar seseorang. Tapi ‘belajar’ dan ‘bisa’ itu dua hal yang tidak ‘luzum.’
Dalam madzhab kita, sebab dan akibat tidak selalu bersama dan bisa saja terpisah (jawaz al-infikak). Berdagang salah satu sebab orang mendapat rezeki. Tapi mungkin saja dengan berdagang malah seseorang menjadi miskin.
Terkadang ada sebab tanpa akibat, atau sebaliknya. Menikah adalah sebab seseorang mempunyai anak. Tapi ada juga yang menikah tapi belum mempunyai anak. Atau bahkan ada perempuan hamil tanpa wujud laki laki, seperti Dewi Maryam. Atau ada anak tanpa orang tua, seperti Nabi Adam.
Sehingga saya perhatikan, kyai kyai menjadi lebih simpel: ngaji yang penting datang, shalat berjamaah datang, aturan pondok diikuti, insyaAllah akan ada masanya pikiran terbuka untuk menerima ilmu.
Pemikiran murid harus pintar dan paham saat kita ajar adalah pemikiran yang menuntut ‘sebab’ harus ada ‘akibat.’
Saya mengajar sekitar 40-60 orang dalam waktu 45 menit dalam satu kelas. Jika kita uji per anak, maka waktu akan habis di absen ke 5. Artinya masih ada 55 orang santri yang saya belum tahu pemahamannya.
Awal mula saya benar benar mentargetkan diri bahwa santri harus paham semua, harus pintar semua dan harus mengerti semua. Setiap hari di kelas marah marah dan ceramah tidak jelas. Waktunya habis dan santri malah tidak dapat apa apa.
Saya ingat cerita KH. Mukhlas Hasyim, Benda: awal mula beliau mengajar di Al Hikmah 2, sempat merobek bajunya sendiri karena obsesinya demikian besar terhadap santri, sementara para santri belum sampai pada level seperti yang beliau harapkan. Beberapa kali bertemu, beliau mengatakan, “sing penting mucal minangka wadzifah sebagai santri.”
Yang terpenting bukan mengajar untuk paham, tapi mengajar untuk menularkan apa yang kita bisa, dan kewajiban menyebarkan ilmu.
Yang lebih penting dari itu semua, selain kyai kyai besar yang punya ribuan murid berhasil menularkan ilmunya lewat mengajar, mereka tak lupa mendoakan murid muridnya agar futuh dan cepat memahami ilmu yang disampaikan.
Sejatinya, guru guru harus berterima kasih pada murid muridnya. Tanpa mereka, mungkin puluhan materi yang dipelajari di pesantren tidak akan pernah dibuka lagi.
Momen mengajar murid adalah momen guru kembali mengulang materi yang pernah dipelajari (muraja’ah). Karena kesibukan yang ada sekarang sudah mustahil untuk membuka lembar demi lembar seperti dulu. Imam Syafi’i dahulu pernah mengatakan,
تعلم قبل ان ترأس فاذا رأست فلا سبيل الي التعلم
“Belajarlah sebelum kamu menjadi pemuka. Jika sudah menjadi pemuka, maka tak akan ada kesempatan lagi untuk belajar.”
Mengajar santri merupakan kesempatan untuk membuka kembali materi yang pernah dipelajari.
Baca juga :
Responses